October 19, 2013

Akar Dalang

Judul : Akar Dan Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa Dan Penggulingan Bung Karno
Penulis : Suar Suroso
Penerbit : Ultimus [Bandung]
Tahun Terbit : September 2013
Tebal Halaman : 264 + xxx

Rasanya baru akun twitter penerbit Ultimus yang menyajikan kultwit dengan jumlah kicauan yang cukup epic. Lebih dari 1000 twit meluncur dengan tagar AkarDalang, berisi cukilan-cukilan singkat dari naskah buku yang berjudul lengkap Akar Dan Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa Dan Penggulingan Bung Karno. Bukan kesimpulan yang menjadi spoiler, tapi benar-benar bagian dari isi buku yang diurutkan dari awal hingga akhir naskah. Sebelumnya Ultimus telah banyak membukukan tulisan-tulisan berupa memoar, puisi, ataupun essay dari orang-orang yang sedikitnya pernah kehilangan haknya sebagai manusia bebas akibat huru-hara politik Indonesia pada 1965. Buku ini adalah salah satunya. Ditulis oleh Suar Suroso, seorang Indonesia yang bermukim lama di luar negeri, yang karena latar belakang politiknya oleh Orde Baru diingkari keberadaannya.

Cerita seputar peristiwa 1965, PKI, ataupun kelompok kiri di Indonesia selalu menjadi topik yang ‘seksi’ untuk disimak, menjadi daya tarik dan nilai jual tersendiri. Terbukanya selubung gelap sejarah menjadi ekspektasi lebih ketika memulai membaca buku yang ‘kekiri-kirian’. Saya menikmati sajian kisah sejarah PKI di buku ini sampai-sampai lupa dengan ekspektasi awal untuk mencari beberapa jawaban mengenai rentetan peristiwa pemanggilan para Jenderal pada 1 Oktober 1965 dini hari. Namun buku ini nampaknya memang tidak dimaksudkan untuk kembali menjabarkan kronologis peristiwa pemanggilan para perwira tinggi TNI AD. Suar Suroso melihat huru-hara tahun 65 itu dari sisi yang lain, memaksudkan konteks perang dingin untuk menjelaskan penyebab layar gelap dalam sejarah Indonesia tersebut.

Logika yang berusaha dibangun melalui buku ini diawali dari penjelasan kondisi politik dunia saat perang dingin, di mana Blok Barat dan Blok Timur yang saling berebut pengaruh di negara-negara dunia ketiga. Kondisi ini dikerucutkan pada penyajian fakta mengenai keterlibatan pemerintah AS dalam penggulingan-penggulingan kekuasaan di beberapa negara untuk kemudian mendudukan pemerintahan baru yang dapat dikontrol oleh AS. Dari sana kemudian ditarik benang merah dengan yang terjadi di Indonesia, pecahnya peristiwa Gestok yang memicu tergulingnya Soekarno dan diberangusnya PKI.

Kebijakan luar negeri AS yang oleh Suar disebut-sebut sebagai politics of concealment dan politics rollback ditengarai menjadi kebijakan awal yang menjadi akar permasalahan peristiwa 65. Pelaksanaannya dikaitkan dengan aktivitas kelompok komunis di Indonesia yang dilihat sebagai ancaman kepentingan AS. Latar belakang peristiwa 65 ini ditarik Suar jauh ke belakang yang nampaknya tidak terpilah mana peristiwa yang dapat diajukan sebagai benang merah dan mana yang hanya berupa kisah bagian dari perkembangan PKI. Cerita menarik justru pada pemaparan versi lain dari sejarah perkembangan PKI sejak masih menjadi sempalan di Syarikat Islam sampai tahun 1965. Dalam pemaparannya tidak jarang menyelipkan stereotype ‘Trotskis’ pada kelompok kiri lainnya yang ‘murtad’ dari PKI.

Saya lebih suka untuk menyebut buku ini sebagai historiografi PKI dibanding jika disebut sebagai salah satu versi dari penyingkapan seputar peristiwa Gestok. Karena toh porsi di dalamnya lebih banyak memuat sejarah perkembangan PKI, daripada berjibaku untuk menjelaskan dokumen-dokumen penting dan penerapannya sebagai bukti otentik persekongkolan antara dinas intelijen AS dengan sekelompok perwira di tubuh militer Indonesia sebagai dalang penggulingan Soekarno. Karena itu cukup disayangkan jika pertautan itu cenderung tergeneralisir dan justru lebih banyak diarahkan pada kiprah PKI yang membahayakan pihak barat, sehingga seakan-akan buku ini hanya menjadi bentuk pembelaan Suar untuk partainya dulu.

No comments:

Post a Comment